Haruskah segalanya berakhir dengan
kesempurnaan?
Kini engkau mulai menghilang. Tanpa ada
kata yang terucap engkau terus melangkah, jauh menjauh dari tempat ku berpijak.
Sesederhana itu kah engkau tuk pergi?
Mengawali kisah dengan sebuah tanya. Ku
habiskan waktu untuk sekedar merenung, menanti sebuah pertemuan. Menunggu dalam
ketidakpastian yang tak pernah bisa ku jawab dengan pasti. Sekejap ku menjelma
menjadi ahli hitung, dalam satu satuan waktu ku mengukur seberapa jauh jarak
kita tuk bertemu. Mungkin terdengar sendu bagi mu, tapi inilah yang ku rasa. Karena
bila kau tahu, jauh dalam agungnya bukit dan landainya cemara tubuh ini bergetar
saat ku tahu akan bertemu dengan mu.
Melebihi fasihnya para sufi saat ku
mengucap nama mu, melebihi lembutnya para rahib saat ku menanti diri mu. Sungguh, jauh di lubuk
hati yang terdalam ku selalu menanti diri mu. Sebab bila pedang lukai tubuh
masih ada harapan tuk sembuh namun bila rindu lukai hati kemana obat harus
dicari? Tak perlu malu tuk sekedar mengamini, bukankah obat dari segala rindu hanyalah
waktu.
Hari penantian pun tiba. Kini kau mulai
hadir di sisi. Pada awalnya tak ada satu waktu yang terbuang, tanpa berlindung
dalam teduhnya bayang mu. Layaknya sepasang kekasih yang memadu cinta, kita
sulit terpisah. Namun seiring berjalannya waktu ku mulai terlupa. Seakan
sensasi mulai memudar atau kadar insulin yang mulai menurun. Aku tak mengerti.
Mulai ku tanya diri, apakah benar emosi
ini atau sekedar persona? yang ku ungkapkan pada dunia kalau aku benar-benar
menanti diri mu. Apakah selama ini ku lapisi diriku denga kain kepalsuan, yang tertutup
erat-erat hingga bila ada yang melihat diri ku maka mereka akan berkata “kau memang
jiwa yang merindu”? Oh Ya Rabb, maafkan lah aku.
Karena aku jauh dari kata sempurna,
berharap takwa pun masih tak pantas rasanya. Memang aku adalah mahluk yang
mendua, kadang khilaf kadang salah. Ramadhan yang kau sediakan bagi ku untuk
menjadi pribadi yang lebih baik tak ku manfaatkan dengan sempurna. Selalu ada
penyesalan yang tertinggal saat engkau mulai pergi. Entah ini tandakan karatnya
hati atau memang rasa abadi saat Ramadhan mulai pergi.
Oh Tuhan. Saat ku mulai tersadar, waktu
kian menipis. Masihkah ada siswa waktu untuk maksimalkan ramadhan tahun ini?
Nampaknya aku terlambat. Yang hanya bisa kulakukan hanyalah berlari hingga ke
sudut tergelap dari malam hanya untuk mengantar diri mu pada ujung ikhlas ku.
walau aku tahu takkan ada yang bisa menjamin untuk kita kan bertemu.